PBHI Lampung Mengecam Tindakan Diskriminatif RSUDAM Lampung Terhadap Winda Sari
Saibumi.com, Bandar Lampung, -
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Wilayah
Lampung mengecam tindakan RSUDAM Lampung yang diskriminatif terhadap
pasien tidak mampu. Pengusiran pasien menggambarkan, bahwa petugas
RSUDAM seperti robot atau mesin, dan tidak layak disebut manusia yang
memiliki harkat dan martabat sebagai manusia.
Staf Advokasi Bidang Ekosob PBHI
Lampung Oddy Marsa JP, SH beranggapan Petugas Rumah Sakit itu memiliki
dua kewajiban, pertama kewajiban asasi sesama manusia dan kedua
kewajiban selaku pelaksana tanggung jawab negara.
“Semua kewajiban itu dilanggar, dan
yang paling menyedihkan mereka tidak layak disebut manusia. Mereka itu
layaknya disebut robot,” katanya dalam rilis yang diterima Saibumi.com.
Dia menjelaskan, bahwa sesama manusia
itu harus saling menghormati dan tidak boleh membedakan status sosial
seseorang dengan memilah apakah dia dari kalangan kaya ataupun miskin.
Dan kewajiban negara yaitu dengan cara menghormati, melindungi dan
memastikan pemenuhan hak warga negara dalam hal ini hak kesehatan.
Hal itu, menurutnya merupakan
prinsip-prinsip hak asasi manusia yang telah diatur dalam dasar negara
PANCASILA, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hak asasi manusia itu juga telah
disebutkan dalam UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, Ratifikasi Kovenan
Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia.
Kesehatan adalah aspek penting dari
hak asasi manusia, sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Hak Asasi
Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 November 1948, yang
menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai
untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya.
Negara sesuai dengan amanat
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 28 H ayat
(1) menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Penjelasan itu mengandung makna bahwa
negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi dan menjamin Hak-Hak Warga
Negaranya terpenuhi sesuai dengan apa yang telah diamanatkan, sehingga
tidak ada lagi penelantaran-penelantaran terhadap hak-hak warga Negara.
Pemerintah dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya untuk menjamin terlaksananya amanat Undang-undang
tersebut, membentuk Lembaga Teknis (Rumah Sakit) sebagai institusi
pelaksana pelayanan kesehatan yang memiliki hak dan kewajiban melakukan
pelayanan kesehatan terhadap warga negara. Hak dan kewajiban tersebut
berkaitan erat dengan Warga Negara (Pasien) sebagai penerima jasa
pelayanan kesehatan.
Rumah Sakit sebagai pelayanan
kesehatan secara teknis berkewajiban untuk bertanggung jawab terhadap
pasien, sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang
Rumah sakit, yang berisi tentang kewajiban Rumah Sakit memberikan
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi dan efektif
dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan
rumah sakit dan menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak
mampu
Selain itu, Konvensi International
tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang ditetapkan PBB pada tahun
1966 juga mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi
yang dapat dicapai dalam kesehatan fisik dan mentalnya.
Dengan adanya penelantaran dan
pengusiran pasien RSUD Abdul Moeloek, atas nama Winda Sari yang
disinyalir karena tidak memiliki biaya dan identitas, tidak mendapatkan
pelayanan kesehatan. merujuk kepada Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia 1945.
“Nah Hak Asasi Manusia itu ada standar hukumnya, jika tidak sanggup melayani rakyat. Ya berhenti saja jadi PNS,” tegasnya.
Dia juga menjelaskan, Warga Negara
juga memiliki kewajiban asasi terhadap warga negara lainnya dengan cara
membayar pajak kepada negara, tetapi kewajiban itu semata-mata untuk
memenuhi hak asasi warga negara bukan kepada negara.
“Bila cara pelayanan negara kepada
warga negara masih seperti ini, kami khawatir wajib pajak akan malas
untuk bayar pajak. Mereka akan berpikir, bayar pajak akan menjadi
sia-sia. Ini dapat mengakibatkan, ketidakpatuhan sipil kepada negara,”
terangnya.
Berdasarkan pengamatannya melalui
media, Oddy menyayangkan pernyataan Direktur Utama Rumah Sakit Umum
Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) Heri Djoko Subandrio yang menyebut Winda
Sari (25), pasien miskin yang diduga diusir perawat ruang Anyelir,
menderita gangguan jiwa, tetapi belum dikonsultasikan ke dokter jiwa.
“Nah itu kan ngawur
namanya, tanpa diagnosa seorang pimpinan rumah sakit berani mengeluarkan
pernyataan tanpa dasar pemeriksaan. Gimana tidak banyak malpraktik,
sekelas Dirut aja bisa asal ngomong kondisi pasien,” ungkap Pengacara Publik ini.
Menurutnya, pihak rumah sakit harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya maupun pernyataan yang telah secara
resmi dikeluarkan sebelum dan pada saat jumpa pers dengan awak media di
RSUDAM Lampung, Bandar Lampung, Senin, 5 Januari 2015.
Untuk itu, kami mendesak pemerintah
Indonesia atau Pemerintah Daerah Lampung untuk segera menyelamatkan
nyawa Winda Sari (25), pasien miskin korban tanpa perlakuan
diskriminasi. Selain itu, juga melakukan evaluasi mendasar berkaitan
dengan pelayanan rumah sakit yang berbasis pada pemenuhan Hak Asasi
Manusia. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar